Hari Kartini yang selalu kita rayakan setiap tanggal 21 April di Indonesia setiap tahunnya dengan meriah dengan berbagai tradisi, saat ini menjadi berbeda karena diperingati di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Hari Kartini diperingati untuk mengenang jasa Raden Ajeng Kartini,
sang pahlawan emansipasi wanita. Kartini memperjuangkan hak-hak wanita yang
dianaktirikan, menjadi suatu pengakuan, dimana para wanita juga bisa turut
mengusahakan dan berkontstribusi pada sekitar dan negara, sama seperti
laki-laki.
Perjuangan inilah yang semangatnya selalu dikobarkan setiap
tanggal 21 April. Perayaan ini di setiap wilayah memang berbeda-beda,
bervariasi dan bertradisi, namun pada perayaan Hari Kartini Tahun 2020,
perbedaan, variasi dan tradisi tersebut menjadi terbatas untuk dilakukan
bersama, disebabkan pandemi Covid-19 yang membuat kita mengurangi aktifitas di
luar rumah #DirumahAja dan tidak bisa
melihat atau menjalankan tradisi peringatan Hari Kartini seperti tahun-tahun
sebelumnya.
Biografi
Selamat
ulang tahun Ibu Kartini, sejak 141 tahun yang lalu tepatnya 21 April 1879 kita kenal
sebagai pejuang emansipasi perempuan. Raden
Ajeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini adalah
seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan
perempuan pribumi.
Raden
Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau
kelas bangsawan Jawa,
putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat
menjadi Bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah
putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya
bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur Jepara.
Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana
VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali
ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak
Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada
abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh
Praja.
Ayah
Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan
seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati
di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A.
Tjitrowikromo.
Kartini
adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada
pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese
Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa
Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah
karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai
belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang
banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik
pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang
diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang
diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan
dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun
kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan
atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita,
tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20,
terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli,
yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.
Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang
sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan
sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa
Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang,
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga
istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti
keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau
di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada
tanggal 13 September 1904. Beberapa hari
kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal
pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat
kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang
pada 1912,
dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".
Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H.
Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari
Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan
pada 1911.
Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat
tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya
dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran,
yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938,
keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang
sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima
bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang
waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes
L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya
surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran
Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia,
antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu
berjudul Ibu Kita Kartini. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan siswa
di seluruh nusantara. Lagu ibu kita Kartini menggambarkan inti perjuangan
wanita untuk merdeka. Kini kemerdekaan kaum wanita diwujudkan dalam konsep
emansipasi wanita.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang
kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian
besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di
Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita
memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas
dasar Religieusiteit, Wijsheid en
Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri
kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta
tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh
pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang
harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan
anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk
ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta
kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar
dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu
mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar
menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa,
memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan
berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini
membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat
untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat
kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah
akan menikah. "...Singkat dan
pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena
saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen
pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini
untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini
soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa
keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para
perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa
sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara
dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja,
tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan
pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan
menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah
dengan Adipati Rembang.
Habis Gelap
Terbitlah Terang
Pada 1922,
oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan
dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane,
salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru,
tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun
juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan
kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan
buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima
bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan
atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku
versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya
terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door
Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan
lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut
Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan
perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat
tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsanya
Surat-surat
Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada
mulanya Sulastin menerjemahkan Door
Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen
pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat
Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa
Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi
terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan
judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa,
yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa
Indonesia.
Buku
terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada
pada Door Duisternis Tot Licht.
Selain diterbitkan dalam Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin
Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini,
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Letters from Kartini, An Indonesian
Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan
surat-surat yang ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga
menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil
temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat
yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost
Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya
untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela
Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya 46 surat yang
dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Panggil Aku Kartini Saja
Selain berupa
kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku
Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat
merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Kartini Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun
1987, Sulastin Sutrisno memberi
gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis
untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door
Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi
yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada
masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa
Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan
daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan
bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[4] Dalam
kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir.
Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal
lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode
1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr
Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau
..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang
selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini
berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Hari Kartini
Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar
yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Peringatan ini
bertujuan untuk menghormati jasa-jasanya dalam memperjuangkan emansipasi
perempuan Indonesia. Mari simak dan renungi kembali lagu Ibu Kita Kartini
berikut ini #DiRumahAja
ditengah pandemi Covid-19
Sumber : Wikipedia
Editor : Khairul Koto (Waka IV – Korp Pelatih – Kepala
Sekretariat Kwarcab Agam)
Komentar
Posting Komentar